Oleh: M. Dwi Cahyono
Perubahan Ekologis Kawasan Rawa Purba dan
Sekitarnya
Upaya untuk mengeringkan rawa-rawa purba di
sub-area selatan Tulungagung adalah ‘pekerjaan raksasa’, yang seakan merupakan
upaya otopis melawan kodrtat alam. Semula na-sib daerah Tulungagung dipandang
sebagai ‘ditentukan’ oleh kondisi fisis-alamiahnya, yang berupa ‘kawasan rawa’,
dan kerenanya menjadi ‘daerah banjir’. Tercatat dua kali daerah ini dilanda
banjir basar, yang mengakibatkan kerugian besar, yaitu pada tahun 1942 dan
1955. Adalah ‘memang telah menjadi nasibnya’ daerah ini menjadi langganan
banjit tahunan. Bah-kan, di beberapa tempat genangan banjir berlangsung sangat
lama, yaitu sekitar tujuh hingga sembilan bulan dalam setahun, sehingga hanya
sekitar tiga hingga lima bulan dalam setahun daerah itu mengenyam daratan
kering. Nasib buruknya yang demikian tercermin pada syair lagu keroncong buah
karya Darmo Soewarno pada tahun 1950an, yang berjudul ‘Oh Nasib Tulungagung'.
Menyadari kekuatan alam yang luar biasa itu, maka pada tahap awal yang dijalankan bukan mengeringkan rawa dan meniadakan banjir, namun hanya sebatas mengendalikan debit air rawa, khususnya di musim penghujan. Upaya demikian telah dirintis pada tahun 1939, semasa penjajahan Hindia-Belanda. Sebelum tahun 1939, genangan air di Rawa Gesikan dan Rawa Bening pada musim kemarau seluas 3.000 ha, sedangkan pada musim penghujan airnya melaup dan menggenangi daerah-daerah sekitarnya hingga mencapai luas sekitar 25.000 ha. Namun demikian, sejak tahun 1939 gengan air rawa pada musim penghujan justru bertambah luas hingga mencapai 28.000 ha.
Dwi Cahyono arkeolog UNM [sumber poto: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1064240856945561] |
Menyadari kekuatan alam yang luar biasa itu, maka pada tahap awal yang dijalankan bukan mengeringkan rawa dan meniadakan banjir, namun hanya sebatas mengendalikan debit air rawa, khususnya di musim penghujan. Upaya demikian telah dirintis pada tahun 1939, semasa penjajahan Hindia-Belanda. Sebelum tahun 1939, genangan air di Rawa Gesikan dan Rawa Bening pada musim kemarau seluas 3.000 ha, sedangkan pada musim penghujan airnya melaup dan menggenangi daerah-daerah sekitarnya hingga mencapai luas sekitar 25.000 ha. Namun demikian, sejak tahun 1939 gengan air rawa pada musim penghujan justru bertambah luas hingga mencapai 28.000 ha.
Penambahan luas areal genangan itu terjadi akibat
kesalahan perhitungan dalam upaya penanggulan banjir melalui pembangunan dua
buah dam, yaitu: (1) Dam Widoro, yang dilengkapi dengan sudetan Muncang –
menghubungan Kali Tawing dan Kali Ngasinan, dan (2) Dam Sumbergayam. yang
dilengkapi dengan sudetan yang meng-hubungkan Kali Ngasinan dan Ngrowo. Dam
Sumbergayam juga diperlengkapi dengan pintu air Cluwok. Ternyata sendimentasi
masih terjadi di atas rencana itu. Akibatnya sebagian Kali Ngrowo, utamanya
sebelah selatan pintu air Cluwok, hampir dipenuhi oleh sendimen. Selain itu,
dasar sudetan Ngasinan naik setinggi 4-5 m, dan secara alamiah dasar Rawa
Gesikan meninggi lebih cepat daripada yang direncanakan. Oleh karena itu kapasitas
tampung airnya menjadi menurun (PPPI-PWSKB, tt:7).
Pada tahun 1961 genangan rawa berhasil diciutkan,
dari 28.000 ha menjadi 13.600 ha. Hal ini merupakan dampak pembangunan Dam
Bendo, Parit Raya, Pintu Air di Kendal serta terowongan pematusan I. Kemudian
pada tahun 1976 areal genangan berhasil disusutkan lagi menjadi sekitar 4000
ha, sebagai dampak pembangunan parit dan saluran drainase sepanjang 20 km yang
dibangun secara bergotong royong oleh para petani. Namun demikian, antara
ta-hun 1976 hingga tahun 1989 genangan banjir di beberapa tempat masih belum
terbebaskan: (a) genangan di daerah (Rawa Bening dan Rawa Gesikan) seluas 1550
ha, yang yergenangan sepanjang tahun, (b) genagngan air di daerah sekitar rawa
– termasuk di dalamnya nagian di selatan kota – dengan luas genangan 2270 ha,
yang tergenang selama sekitar 200 hari/tahun. Selain itu terdapat fareah
dataran rendah, yang untuk waktu terbatas (sekitar 14 hari selama setahun
tergenang banjir, dengan luas genangan 4120 ha (BPPI-PWSKB, tt:7).
Kawasan banjir di daerah Tulungagung benar-benar
terbebas pada tahun 1980an. Hal ini berkat pembangunan saluran drainase tahap I
(1981-1985), yang dilakukan dengan me-ngalirkan seluruh air bah (banjir) ke
Kali Brantas dan ke Samodra Indonesia. Upaya lanjutan dilakukan hingga tahun
1989, berupa pembangunan parit agung yang dinami ‘Parit Lodaya-Tulungagung
(Loda Agung) sepanjang 24,2 km, saluran pematusan II, dan tiga buah pintu air
(BPPI-PWSKB, tt:9-11). Semenjak itu, predikat Tulungagung sebagai ‘Daerah
Banjir’ dan ‘Kawasan Rawa Purba’ pun berakhir. Suatu prestasi luar biasa, yang
mampu menjadikan impian untuk bisa mengeringkan rawa dan meniadakan banjir
tahunan menjadi sebuah kenya-taan. Nasib buruk daerah Tulungagung yang menjadi
langganan bajir tahunan ternyata bukan semata ditentukan oleh kondisi
fisis-alamiahnya, namun terbukti mampu dibebaskan berkat spirit adaptif yang
diejowantahkan ke dalam upaya sungguh-sungguh dengan disertai kegotongroyongan.
Demikian paparan ringkas mengena i 'Paleo-ekologi
Eks Rawa Purba dan Pegunungan Kapur Selatan Tulungagng' linyas masa. Semoga
membuahkan faedah, setidaknya untuk memahai konteks lingkungan padamana
Festival Gunung Budheg kelak (24-26 Februari 2017) bakal diselenggarakan.
Berikut akan diunggah lagi tulisan yang secara khusus membicarakan tentang
Kesejarahan Gunung Budheg dengan judul 'Fakta di Balik Legenda'.
Salam budaya 'Ngrowojayati'. Nuwun
[M. DWI CAHYONO]
[M. DWI CAHYONO]
Sengkaling, 27 Januari 2017
PATEMBAYAN CITRALEKHA
No comments:
Post a Comment